Minggu, 18 Juli 2010


CELOTEH ANAK BANGSA
TUK NEGERI TERCINT
A











 Bagaimana potret Indonesia saat ini ?

 Bagaimana seharusnya generasi muda menyikapi permasalahan bangsa dan negara ?

 Apa yang menjadi penantian bangsa Indonesia saat ini ?



Jawaban tiga pertanyaan tersebut akan terungkap dan tersirat dalam sebuah ‘CELOTEH ANAK BANGSA TUK NEGERI TERCINTA'.






CELOTEH ANAK BANGSA
TUK NEGERI TERCINTA

Lewat lembaran kertas, lewat goresan tinta, lewat bait puisi dan lagu, lewat tutur kata, ijinkanlah salah seorang anak bangsa berceloteh tentang negeri tercintanya dan biarkanlah nyanyian alam dan desiran angin serta seruling anak gembala menyampaikan celoteh ini ke segenap penjuru tanah air Indonesia
Di suatu saat,… di suatu tempat di bebukitan yang indah dan sejuk, dikelilingi hijaunya kebun teh, dinaungi putihnya awan, dipayungi birunya langit,.. diselimuti embun pagi,.. dibelai hembusan angin sepoi… di sana… sesosok anak bangsa tengah bercengkrama dengan kedamaian alam, dengan harumnya bunga, di antara rimbunnya dedaunan,… ditemani hangatnya sinar mentari, dan merdunya kicauan burung,… di antara sejuknya mata air yang mengalir tiada henti
Bergetar jiwanya menyaksikan semua itu, sungguh suatu perpaduan alam yang begitu serasi, ..begitu sempurna,… hingga kata-katapun tak cukup untuk melukiskan semua itu,.. hanya kekaguman tiada henti yang melingkupi jiwa dan rasa.. menumbuhkan rasa syukur yang tak terkira,.. atas anugrah yang demikian besar dari Sang Pencipta terhadap negeri ini Indonesia…
Lantas,… suatu saat lain,… di suatu tempat,… sesosok anak bangsa itu… berdiri di suatu ketinggian,… di atas salah sebuah mercusuar…di pantai ujung Jawa Barat,.. dilihatnya bentangan laut yang begitu luas,… dihiasi perahu nelayan yang tengah berlayar,… di antara kepakan sayap burung camar,… bernaungkan mega yang berarak,… deburan ombak yang menerpa karang,… dan lambaian nyiur di pantai,… seakan mengisyaratkan kepada setiap insan,.. betapa Maha Besarnya Sang Pencipta Alam,… dan betapa kecil serta tiada artinya ,.. semua yang diciptakan selain Dia… dibandingkan luasnya alam dan kebesaran Penciptanya,… sungguh tak berhak siapapun merasa besar, merasa sombong dan bangga diri,… karena semua itu adalah hak mutlak, Tuhan, Pencipta alam.
Menyaksikan kebesaran Tuhan, yang tersirat dalam keindahan alam Indonesia, sangat meresap dan berkesan dalam jiwa sesosok anak bangsa itu, menimbulkan rasa cinta yang mendalam,… terhadap tanah tumpah darahnya. ..Indonesia nan permai dan bibirnya pun perlahan menyenandungkan lagu gubahan seniman di era perjuangan yang diabadikan hingga kini,…
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh…
Tidak’kan hilang dari kalbu…
Tanahku yang kucintai
Engkau kuhargai…
Walaupun banyak negeri kujalani
Termasyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah ku merasa senang
Tanahku tak kulupakan…
Engkau ku banggakan…
Sosok anak bangsa itu berharap, agar kedamaian yang dirasakannya juga dirasakan oleh seluruh putra-putri yang terlahir di negeri Indonesia,… agar rasa cinta terhadap tanah tumpah darah ini, juga dirasakan oleh seluruh putra-putri negeri ini,… sebagaimana telah dibuktikan oleh para pahlawan kemerdekaan, lewat keringat, darah dan air mata yang tertumpah membasahi bumi Indonesia, juga lewat gubahan lagu-lagu perjuangan yang akan abadi sepanjang masa.
Waktu berlalu, masapun berganti.. sosok anak bangsa itu tetap mengikuti alur waktu yang menjadi takdirnya, menapaki roda kehidupan yang tiada henti bergulir siang dan malam,… hingga menyeretnya ke akhir abad 21 ini,… banyak hal terjadi… banyak perubahan dialami,… dalam perjalanan hidupnya,… namun satu yang tetap tertanam dalam hatinya,.. yaitu rasa cinta terhadap tanah air,… rasa cinta terhadap anugrah Tuhan tersebut, abadi dalam jiwanya, tak tergilas roda kehidupan zaman.
Kini,… lewat layar kaca, lewat coretan pena para jurnalis,.. sosok anak bangsa itu tersentak,… hatinyapun terhenyak,.. menyaksikan betapa kini kedamaian telah terkoyak di bumi Indonesia , rasa peri kemanusiaanpun telah terobek,.. huru-hara dan teror mengintai di setiap sudut kehidupan,…hingga harta dan nyawapun tak ada lagi harganya,… pelecehan “Hak Asasi Manusia” dan ‘rasa keadilan” terjadi dimana-mana.. seakan tak ada lagi tempat berlindung, seakan tak ada lagi tempat mencari keadilan …
Kenapa demikian ?
Karena lihatlah, di sudut kehidupan lain, para pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang dan pengawas undang-undang tengah beradu argumentasi,…memperdebatkan undang-undang yang telah mereka rancang dan sepakati bersama,… ternyata undang-undang yang telah dirancang oleh para wakil rakyat yang tentunya terdiri dari orang pilihan dengan biaya tak sedikit, nyatanya seringkali belum dapat diterima semua pihak, karena belum dapat mewakili rasa keadilan setiap golongan,… sehingga akhirnya sebagaimana yang terlihat mata dan terdengar telinga,… para putra-putra bangsa terbaik yang berjas dasi,.. berkantor di gedung megah terlibat dalam perdebatan,.. adu argumentasi,…saling hujat,.. yang berujung saling gugat, semua pihak mempertahankan pendapat masing-masing,…semua merasa benar ,..semua berdalih demi tegaknya demokrasi,..demi kepentingan rakyat,.. hingga membuat rakyat bingung dan bertanya-tanya..mana yang benar ? mana yang harus diikuti ? mana yang benar-benar akan membela rakyat ?
Sejuta tanya yang terpendam tanpa ada jawaban yang pasti, seringkali menimbulkan sikap apatis, masa bodoh terhadap apa apa yang terjadi, di sisi lain, ketidakmengertian dan ketidakpuasan itu melahirkan sikap berontak yang berujung pada tindakan kekerasan, di luar kontrol akal sehat.
Lantas sebagai generasi muda, sebagai sosok anak bangsa, harus bagaimana menyikapi masalah negeri yang menghadang di kelopak mata ? haruskah bersikap apatis atau masa bodoh atau haruskah ikut-ikutan menghujat dan menggugat atau bahkan menumpahkan lewat tindak kekerasan dan perusakan.
Tentu kedua-duanya tidak !
Kita tidak boleh bersikap apatis atau masa bodoh, karena sikap masa bodoh identik dengan sikap tidak bertanggung jawab, dalam hal ini bertanggung jawab terhadap masa depan negeri tercinta serta pengisi negeri itu.
Juga kita tidak perlu menghujat, mencaci atau melontarkan kritik yang menjatuhkan apalagi melancarkan teror yang merugikan diri sendiri dan orang lain, karena perilaku demikian hanya akan mencoreng martabat bangsa sendiri di mata dunia dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah bahkan sebaliknya mengundang masalah baru.
Yang mesti kita ingat ialah, bahwa pemimpin-pemimpin kita adalah orang tua kita yang merupakan putra-putra bangsa terbaik, jadi sudah semestinya kita hormati dan kita jaga keselamatannya sekuat tenaga, kita bentengi dari rongrongan pihak lain yang berusaha mengadu domba para pemimpin kita, yakni pihak yang tidak senang ada kedamaian di negeri ini
Sekarang coba kita tatap patung ke tujuh jendral, pahlawan revolusi, yang berdiri dengan gagahnya dengan tangan yang menunjuk ke satu arah yakni arah Lubang Buaya, maka siapapun akan teringat kembali akan peristiwa berdarah pada tanggal 30 September 1965,.. akan kebiadaban orang-orang (kaum) yang tidak ber-Tuhan,.. mereka memfitnah, mengadu domba dan menganiaya ke tujuh jendral tersebut di luar batas peri kemanusiaan,.. hingga peristiwa ini tercatat sebagai lembaran hitam dalam sejarah bangsa Indonesia dan Indonesiapun menangis, kehilangan putra-putra terbaiknya. Berdirinya patung ke-7 pahlawan revolusi tersebut, seakan mengisyaratkan kepada segenap bangsa Indonesia agar jangan sampai peristiwa Lubang Buaya terulang kembali di negeri ini, agar jangan sampai pemimpin-prmimpin kita mudah diadu domba, agar jangan sampai bangsa Indonesia kembali kehilangan putra-putra terbaiknya.
Dan kalau kita amati secara cermat, kalau kita mau bicara jujur, sebenarnya gejala-gejala itu kini terasa dalam tubuh bangsa Indonesia,… coba kita perhatikan bagaimana tegangnya perang urat syaraf, para kandidat Capres pasca Pemilu beberapa waktu lalu, para kandidat yang terdiri dari para Jendral itu seakan menyimpan kecurigaan yang tersembunyi terhadap masing-masing lawan politiknya, hingga jika terjadi suatu teror terhadap salah satu kubu, maka seakan kubu lain yang menjadi lawan politiknya langsung menjadi kambing hitamnya.
Hal ini sebetulnya, yang harus diwaspadai bersama oleh bangsa Indonesia akan adanya skenario yang telah disusun rapi dan terencana, halus tapi pasti, yang berusaha memecah belah bangsa ini, begitu halusnya,… menyusup lewat faktor ekonomi, budaya, faktor SARA hingga politik, bagai virus ganas yang menggerogoti seluruh tubuh,..perlahan tapi pasti yang akhirnya mematikan. Jadi segenap bangsa Indonesia dari pemimpin hingga rakyatnya, ulama maupun umaronya, harus benar ekstra hati-hati, ekstra siaga, ekstra waspada menghadapi ‘virus’ pemecah belah bangsa, yang kini tanpa terasa tengah menggerogoti bangsa ini,… sedikit demi sedikit, kenyataannya ialah perpecahan tetap terjadi hampir disemua kalangan bahkan usaha-usaha untuk pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kini mulai bermunculan.
Jadi yang diharapkan generasi muda dan segenap komponen bangsa saat ini adalah contoh dari Bapak bapak pemimpin, bapak-bapak pemimpin kita diharapkan mampu memberikan contoh jiwa persatuan, contoh rasa tenggang rasa yang tinggi, saling menghargai dan saling menghormati, meski bendera partai mereka berbeda, meski pola pikir mereka tidak sama, namun di depan rakyat singkirkanlah semua perbedaan itu, carilah persamaan, ciptakan persatuan, tunjukkan ketulusan pembaktian terhadap bangsa dan negara, sehingga rakyat akan merasa tenang, terayomi, serta bangga terhadap pemimpinnya, baik yang terpilih sebagai presiden maupun tidak terpilih.
Dalam situasi lain, disaat para pemimpin kita tengah berada dalam kekeliruan, maka sebagaimana telah dibahas sebelumnya, sebagai generasi muda, tidak perlu menghujat atau mengkritik habis-habisan tanpa memberikan jalan keluarnya, carilah langkah yang bijak,… tindakan yang searif mungkin penuh pertimbangan dan perhitungan,..meski darah muda panas menggelora, tapi tetap pikiran harus dingin agar tidak tersesat dalam mengambil tindakan.
Seyogyanya sebagai generasi muda mampu memberikan jalan keluar yang bijaksana demi menyelamatkan bapak-bapak pemimpin selaku orang tua kita yang kebetulan tengah berada dalan kekeliruan, baik dalam langkah maupun dalam pola pikir.
Saat ini ‘’pesta demokrasi‘’ telah kita lalui bersama, meski pasca pemilu tersebut diwarnai dengan protes-protes ketidakpuasan, gugatan-gugatan atas adanya berbagai pelanggaran saat Pemilu, namun akhirnya ditetapkan juga, bahwa Pemilu telah dimenangkan oleh salah satu kandidat yang mempunyai perolehan suara terbanyak dan lawan politik yang tulus mengucapkan ‘’selamat’’ atas kemenangan itu, merupakan sikap terpuji,...karena menggambarkan sikap yang ‘’legowo’’ menerima kekalahan dalam satu sisi dengan lapang hati.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya ada sesuatu yang ditunggu oleh bangsa Indonesia, pasca pemilu yang baru lalu,… sesuatu yang ditunggu itu adalah adanya suatu perubahan yakni perubahan nasib bangsa, perubahan mendasar yang meliputi seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang ditunggu bangsa Indonesia adalah suatu kepemimpinan yang akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik,…siapapun itu pemimpinnya dan kini janji tentang perubahan itu sudah terlanjur terucap lewat ucapan calon orang no.1 di Indonesia dan kini rakyat tinggal menunggu kenyataan dari janji-janji tersebut...apakah akan benar-benar terwujud atau perubahan itu hanya akan jadi mimpi di atas mimpi.
Sebagai sosok bangsa yang dinamis aktif, maka dalam menunggu kenyataan dari janji calon pemimpin tertinggi negeri ini, tidak sepantasnya generasi muda diam berpangku tangan, tapi harus tetap dinamis aktif menelusuri berbagai alternatif seandainya semua janji tersebut di atas tidak dapat terwujud menjadi kenyataan karena berbagai kendala, namun toh impian rakyat bangsa Indonesia harus tetap diupayakan agar terwujud nyata,... dalam hal ini peran aktif generasi muda sebagai tiang negara dan kusuma harapan bangsa sangatlah dibutuhkan demi terselamatkannya bangsa dan negara ini

3 komentar:

  1. Proklamasi "Kami bangsa Indonesia menyatakan dgn ini kemerdekaannya, hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dgn seksama dan dlm tempo sesingkat-singkatnya.
    Jakarta, 17 Agustus 1945
    Soekarno - Hatta

    BalasHapus